Sebagai pendidik yang cukup konsern dan tentu berfokus pada perkembangan pendidikan maka begitu tertarik dengan proses perubahan pola pikir masyarakat. Dengan ini, saya sangat tertarik dengan salah satu program yang dilakukan oleh salah seorang penerima SATU Indonesia Award tahun 2011.
Menarik ketika tahu bahwa pergerakannya dimulai dari salah satu kabupaten di Sumatera Utara. Beberapa kali saya pun pernah main ke Serdang Bedagai dan sempat pula melihat secara sepintas aktifitas masyarakatnya. Meskipun sejauh ini belum pernah terlibar langsung ke penduduk setempat tapi setidaknya pernah ada lakukan kegiatan disana bersama kawan-kawan.
Selama ini, memang sudah sering terdengar ada kalimat untuk masyarakat pesisir,"Kerja tak kerja,asal hidup enak". Bagaimana bisa hidup enak jika tidak kerja dan berpenghasilan? Atau bagaimana bisa dapat kerja enak jika tak tahu caranya?
Hal-hal mendasar seperti ini sering terjadi di lingkungan masyarakat yang memang tidak memperdulikan mengenai latar belakang pendidikan. Bahkan paling utama sekedar bisa makan hari ini saja sudah cukup bisa hidup tanpa peduli pendidikan untuk masa depan.
Kesadaran Masyarakat Memang Dibutuhkan
Mungkin kita sering sekali bertemu hal seperti ini di berbagai daerah lainnya. Suatu hal tidak bisa berkembang begitu saja tanpa kesadaran dari masyarakatnya. Namun, tentu menantikan rasa sadar itu sendiri tidak mudah.
Perlu adanya yang menggerakkan agar kesadaran itu bisa menjadi nyata. Dengan dorongan dan dukungan langsung yang diberikan ke masyarakat tentu sangat penting. Jika diberikan pengetahuan dan diajak bersama pasti lebih menggerakkan penduduk lokal untuk mulai lakukan perubahan.
Aktivis Perempuan Bernama Hapsari
Apakah nama penggerak dari pergerakan ini bernama Hapsari? Bukan, teman-teman. Namun, Hapsari ini merupakan nama pergerakannya yang berfokus pada pemberdayaan perempuan. Rusmawati adalah nama penggerak yang mengembangkan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) Hapsari tersebut.
Ada hal yang menggerakannya hingga melakukan sesuatu seperti ini. Ia melihat kondisi di Pesisir Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Memang potret kemiskinan adalah kondisi umum di kawasan perkampungan nelayan ini.
Membicarakan pendidikan tentu sebagai sesuatu hal yang asing dimana pendidikan yang layak susah diakses. Anak-anak setempat pun banyak yang putus sekolah sebagaimana memang ekonomi sulit tapi seperti kurang minat untuk mendapatkan pendidikan.
Hal tersebut semakin diperkuat dengan semboyan konyol masyarakat setempat mengenai,"Kerja tak kerja, asal hidup enak". Dengan kekuatan pendapat begini dari penduduk sekitar maka mengutakamakan rasa santai dalam jalani kehidupan.
Hadirlah Sanggar Belajar Anak
Rusmawati terdorong untuk melakukan sesuatu perubahan terutama untuk anak-anak di sekitar pesisir Serdang Bedagai ini. Tentu pendidikan adalah salah satu senjata untuk bisa menggapai sebuah perubahan dan menggapai impian.
Ia pun tergerak untuk memulai dengan menghadirkan Sanggar Belajar Anak bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam Serikat Petani Pesisir dan Nelayan (SPPN). Dengan adanya pergerakan seperti ini tentu ada harapan untuk perubahan di masyarakat sekitar terutama bagi anak-anak yang putus sekolah.
Selain melakukan aktifitas untuk anak-anak, Sanggar Belajar Anak ini juga melatih wali murid untuk bisa berorganisasi dan berdiskusi yang menyangkut persoalan perempuan, ekonomi, sosial dan budaya setempat.
Tentunya tidak hanya sekedar berdiskusi saja namun para wali murid ini pun mengelola pinjaman lunak dalam kelompok. Bahkan dalam empat tahun terakhir ini sudah ada 40 ribu rumah tangga mendapatkan pinjaman Rp.1 juta per orang yang digunakan untuk beternak ayam dan bebek, berkebun sayur di rumah dan membuat ikan asin.
Dana yang didapatkan untuk pengembangan Sanggar Belajar Anak ini sejak berdiri hingga sekarang berasal dari kucuran dana Hapsari, organisasi induk SPPN, SPP murid yang bervarias mulai dari Rp.8000-Rp.10.000 per bulan dan bantuan dari lembaga asing.